
Gambar : Ironi Akademik
Cukup sulit untuk menjadi
waras dalam dunia yang dipeluk mesra ketidak warasan seperti sekarang. Perlu
diingat bahwa dalam pendidikan kritis yang harus kita telusuri adalah bagaimana
struktur sosial yang telah dibentuk, seperti kebijakan, dan tentunya nilai dan
budaya yang dirangkul mahasiswa yang pada akhirnya membentuk proses berfikir,
pengetahuan dan perilaku seorang individu. Mengutip mantra sosiolog C. Wright
Mills (2000) “the personal is political”.
Mengindividualisasikan permasalahan sosial hanya akan melahirkan narasi – narasi individualistis dan kata – kata mutiara yang hampa seakan – akan hanya dengan berfikir positif dan bekerja keras atau kembali ke kepentingan – kepentingan pribadi, kebijakan – kebijakan dan peran yang menindas bisa teratasi. Bukan satu hal yang mengejutkan ketika toxic positivity seperti hari ini yang berkedok nasionalisme dangkal dan pola pikir anti-sains melahirkan manusia – manusia yang masih turut membela kebijakan – kebijakan absurd dari aparatur kampus serta melahirkan pemuda seperti domba yang hanya mengikuti perintah atau benda mati yang hanya mengikuti arus.
Jika kita memahami kapitalisme, patriarki, rasisme, fasisme, neo-feodalisme, neo-kolonialisme, beserta beragam bentuk penindasan structural lainnya yang terjadi di kampus kita sebagai hal – hal yang menghalangi mahasiswa untuk merdeka, egaliter dan demokratis. Lalu apa yang harus dilakukan agar institusi ornament – ornament kampus beserta tenaga pengajarnya sebagai salah satu alat emansipasi dari penindasan? Apa yang harus dilakukan mahasiswa untuk mewujudkan demokrasi sejati yang tidak terbangun saat ini, agar terbentuk Universitas dan mahasiswa yang merangkul demokrasi secara mendalam, demokrasi yang secara sungguh – sungguh merepresentasikan kebutuhan mahasiswa dan memberikan mahasiswa peran sentral dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan hajat hidup orang banyak? apa yang harus dikerjakan agar kampus kita tercinta tak hanya merangkul demokrasi yang dangkal, yang hanya menitik beratkan musyawarah mahasiswa dengan dalih demokrasi terpimpin sebagai contoh sukses sebuah system demokratis?
Gambaran bagaimana system pendidikan kita bekerja seperti halnya tentang cara kerja system sosial yang ada di kampus pada umumnya, terbilang kompleks dan kelam. Dengan tidak berdirinya tonggak demokrasi yang sejati bahkan peralihan jabatan layaknya seperti permainan bola yang hanya di oper sana oper sini tanpa melalui pesta demokrasi sejati yang pada akhirnya menghasilkan kemunduran kesadaran dan nilai kritis mahasiswa. Seakan merenggut harapan kita akan sebuah perubahan. Apakah mungkin ada harapan untuk perubahan di dalam sebuah system yang hegemonic? Peter Mayo, seorang ahli pendidikan kritis dari Malta sedikit memberi kita harapan ketika ia mengatakan bahwa “Hegemoni tidak pernah sempurna, selalu ada ruang dan kesempatan untuk menentang dominasi elite dan membentuk kontra-hegemoni. Kita bicara disini tentang bagaimana membangun suatu kontra-hegemoni yang memanusiakan serta menawarkan antithesis dari nilai – nilai dominan yang menindas.
Maka dalam membongkar
kompleksitas system yang represif dan menemukan potensi – potensi perubahan,
kita harus berfokus tidak hanya kepada kritik, akan tetapi juga pada upaya
pembentukan nilai – nilai yang dapat menjadi lawan dari nilai – nilai yang
menindas. Seperti yang kerap dikatakan Henry Giroux, dalam teori kritisnya,
kita tak hanya dapat berhenti pada penggunaan “bahasa kritik”, namun juga harus
berfokus pada “bahasa harapan” untuk melahirkan “bahasa kemungkinan” lalu menciptakan
upaya – upaya perubahan atau yang biasa kita sebut “kritis transformatif”.
Penulis : Sahabat Alfian
Editor : Sahabat A. Hasan
0 Response to "Ironi Akademi"
Posting Komentar