Beranda · Berita · Opini · Sastra · Galeri

Respon atas kekerasan seksual yang tak kunjung usai

Gambar : Ilustrasi Kekerasan Seksual

Mari kita berpikir tentang bagaimana lingkungan social memperlakukan perempuan, bagaimana perempuan dipandang? Berpikirlah bahwa kesetaraan itu dimulai saat perempuan tak lagi menjadi obyek seksual laki – laki.

Minimnya paying perlindungan hukum yang tidak sebanding dengan kompleksitas kasus – kasus kekerasan seksual menyebabkan impunitas, keberulangan, dan rasa frustasi para korban dalam menuntut hak atas keadilan, kebenaran, pemulihan serta kesetaraan. Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi tidak dibarengi dengan adanya instrument hukum yang komperhensif. Perlindungan bagi perempuan untuk terbebas dari kekerasan berbasis gender masih belum menjadi perhatian serius dari negara. Perkembangan masyarakat yang begitu cepat tidak dapat diikuti dengan paradigm hukum baru, sehingga hukum menjadi tidak responsif terhadap persoalan – persoalan perempuan.

Seharusnya, akses dan perlindungan dari segala bentuk kekerasan seksual merupakan bagian dari hak asasi manusia yakni hak atas keselamatan, kebebasan dan keamanan serta perlindungan diri atas kehormatan dan martabat seseorang yang harus dijamin oleh konstitusi. Angka kekerasan seksual yang kian meningkat dari tahun ke tahun tidak sebanding dengan rendahnya penyelesaian hukum yang didapat oleh korban – korban kekerasan seksual.

Mari kita berbicara tentang tragedi yang tersebar di media social saat ini. Kejadian pemerkosaan yang dilakukan anggota kepolisian di jawa timur menambah deretan daftar hitam atas fenomena ketidak adilan dan kekerasan seksual yang lagi – lagi menempatkan perempuan menjadi korban.

Perempuan mana yang hatinya tidak tersayat dan bergetar melihat mirisnya kejadian dimana seorang mahasiswi harus mengakhiri hidupnya dengan jalan meminum racun di samping makam ayahandanya. Bunuh dirinya bukan karena kepergian sang ayah, melainkan kasus kekerasan seksual yang menempa dirinya. Ia mengalami pelecehan seksual dimana ia diberi obat penidur atas strategi sang kekasih dalam melancarkan aksi bejatnya. Selang beberapa bulan ketika ia menyadari dirinya sedang hamil dan kemudian ia menuntut sang kekasih agar bertanggungjawab atas kelakuan bejatnya direspon pernyataan sang kekasih dengan meminta ia untuk menggugurkan kandungannya. Depresi dan trauma merobek hidupnya karena diperlakukan bejat oleh kekasihnya. Hati perempuan mana yang tega membunuh anak yang ia kandung sendiri. Alih – alih memberi dukungan, pihak keluarganya pun memberi beban lebih dimana mereka malah menyalahkannya atas kasus yang menimpa dirinya. Lingkungannya memberikan respon yang menempatkan ia harus menempa beban seorang diri. Ia mendapat cercaan dimana apa yang ia hadapi sekarang merupakan aib dan mempermalukan keluarga. Bahkan melaporkan ke pihak berwajib pun seakan percuma.

Hal tersebut begitu menyayat hati bagi manusia yang masih memiliki nurani. Ada hal penting yang harus kita cermati dan kita perjuangkan, hal tersebut tentu terkait tentang ketimpangan gender. Pada kasus tersebut laki – laki terlihat memiliki kekuasaan penuh terhadap perempuan sehingga tega menyerukan agar menggugurkan kandungannya. Hal itu hanya akan memberikan luka kedua yang harus diderita oleh perempuan. Perilaku patriarki tersebut begitu dominan, perempuan kerap dianggap sebagai objek pelampiasan semata, jalan aborsi yang dianjurkan begitu sangat tidak manusiawi, pikiran sempit itu hanya ingin menghilangkan jejak tanpa memperhatikan penderitaan perempuan. Seolah – olah menunjukkan adanya kelas gender dimana kaum pria lebih dominan daripada kaum perempuan. Sejauh ini mindset seperti itu masih tertanam kuat dalam kontruksi social bahwa laki – laki memiliki kuasa lebih terhadap perempuan. Padahal, kedudukan manusia itu sama, tidak ada yang membedakan diantara sesame manusia. Namun perempuan kerap sulit mendapatkan kebebasan, bahkan hanya untuk mengambil keputusan. Perilaku patriarki tersebut sudah menyebar di lingkungan termasuk keluarga.

Perempuan kerap dianggap sebagai sumber datangnya perilaku bejat. Parahnya lagi jika itu sudah dikaitkan dengan pakaian. Pakaian kerap dijadikan kambing hitam, namun faktanya tidak demikian. Perempuan sebagai korban pelecehan seksual sangat sulit mencari keadilan, apalagi jika pelaku kekerasan seksual adalah aparat penegak hukum, tentu saja itu akan membuat kasusnya berlarut – larut. Budaya patriarki itulah yang membuat korban enggan bersuara, mereka seakan dibungkam oleh system yang merendahkan perempuan.  Lingkungan dan regulasi yang tidak berpihak terhadap perempuan hanya membuat korban semakin depresi. Regulasi di Indonesia bahkan belum menyentuh pada pemulihan kekerasan seksual terhadap perempuan.

Secercah harapan itu tetap ada, namun tetap saja bertabrakan dengan pemikiran dangkal. Hal itu bias kita lihat dari beberapa kalangan yang menolak RUU PKS dan Permendikbud PPKS. Pemikiran ortodoks yang dibalut dalil agama itu masih saja berkeliaran tanpa melihat fakta di lapangan. Padahal, kedua regulasi tersebut sangat menyentuh bagi korban kekerasan seksual terhadap perempuan.

Kasus kekerasan seksual yang terus merambah hingga saat ini sudah cukup bagi para legislator untuk memuluskan RUU. Fakta ini tidak bias dibantah lagi, harus menunggu berapa korban lagi hingga RUU bisa disahkan? Bukankah dalam pembentukan undang – undang harus mengedepankan kepentingan umum? Apakah kasus kekerasan seksual yang terjadi tidaklah cukup? Inilah yang membuat ironi. Hukum seakan menjadi budak tatkala politik berbicara.


Penulis : -
Editor : Sahabat A. Hasan

0 Response to "Respon atas kekerasan seksual yang tak kunjung usai"

Posting Komentar