Aswaja dalam pemaknaan organisasi PMII?


oleh : Sahabat Imam Arifin

Prawacana

Apabila konsep aswaja sebagai manhaj al-fikr diajukan kepada KH Hasyim Asy’ari selaku pendiri nahdlatul ulama’. Bagaimana kira-kira tanggapan beliau? Ini merupakan pertanyaan yang cukup menarik mengingat sejak tahun 1990-an penerapan aswaja di kalangan nahdlatul ulama dinilai telah diluar kendali dan telah meninggalkan ajaran-ajaran konservatif yang telah lama diterapkan nahdlatul ulama sejak pertama berdiri pada tahun 1926. Gagasan aswaja sebagai manhaj pertama kali diperkenalkan oleh KH. Said Aqil Siraj dan kemudian secara terbuka diadopsi dan diterapkan sebagai metode berfikir dan bergerak oleh PMII. 

Respon PMII terhadap penerapan aswaja sebagai metode ini dalam rangka menjawab tantangan jaman yang semakin dinamis. Ditambah basis kader PMII yang jauh dari pesantren yaitu sebagai Mahasiswa yang berbasiskan di Universitas. Tentunya selain pemikiran keislaman, kader PMII juga banyak berkenalan dengan pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari barat dan sebagainya. Sehingga menjadi semakin kaya pula khasanah pemikiran yang dimiliki oleh kader-kader PMII.

Pada Bab ini kita akan berusaha sama-sama membedah bagaimana Aswaja dalam dinamika perkembangan sejarah dalam nahdlatul ulama. PMII sebagai representasi dari kalangan muda NU dirasa sangat perlu untuk mendapat penjelasan mengenai aswaja baik secara ideologi maupun aswaja sebagai manhaj, baik al-fiks ataupun al-harakah.

Definisi Aswaja

Secara harfiah arti ahlusunnah waljamaah adalah sebagai berikut 1) ahl secara bahasa bererti keluarga Nabi saw, sahabat nabi, dan tabi’in (pengikut nabi), jika dikaitkan dengan aliran atau mazhab maka artinya adala pengikut aliran atau pengikut mazhab. 2) As-Sunnah secara bahasa berasal dari kata “sanna yassinu”, dan “Masnun” yaitu yang disunnahkan. Sedangkan “sanna amr” artinya yaitu menerangkan (menjelaskan) perkara. As-sunnah juga mempunyai arti “at-thariqah” (jalan/metode/pandangan hidup) dan “As-Sirah” (Perilaku) yang terpuji. Secara bahasa mempunyai arti jalan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh nabi saw. Di samping memiliki arti yang al-hadis. Secara istilah pengertian as-sunnah adalah petunjuk yang ditempuh oleh rasulullah saw dan para sahabatnya baik berkenaan dengan ilmu, akidah, perkataan, perbuatan maupun ketetapan. As-sunnah juga digunakan untuk menyebut sunah-sunah (yang berhubungan dengan) ibadah dan akidah. Lawan kata dari sunnah adalah “bid’ah”. 3) Al-jamaah secara bahasa berarti jamaah diambil dari kata jama’a artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebaagian dengan sebagian lain. Seperti kalimat “jama’tuhu” (saya telah mengumpulkannya) ,”faijtama’a (maka berkumpul). Dan kata tersebut berasal dari kata “ijtima’” (perkumpulan), ia lawan kata dari “tafaruq” (perceraian) dan juga lawan kata dari “furqah” (Perpecahan). Jama’ah adalah kelompok orang banyak, dan dikatakan juga kelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan. Secara istilah Al-jama’ah adalah pendahulu umat ini dari kalangan para sahabat, tabi;in, dan orang-orang yang mengikuti jejak kebaikan nabi saw sampai hari kiamat. Dimana mereka berjalan sesuai dengan yang telah ditempuh oleh rasulullah saw baik secara lahir maupun batin. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt yang telah memerintahkan kaum mukminin dan menganjurkan mereka agar berkumpul, bersatu dan tolong-menolong.  Dan allah melarang mereka untuk berpecah-pecahan satu sama lain atau bercerai-berai. Pada kesimpulannya ahlusunnah waljamaah adalah orang-orang yang mempunyai sifat dan karekter mengikuti sunah nabi saw dan menjai perkara-perkara yang baru dan bid’ah daam agama. Atau dalam pengertian lain adalah orang-orang yang mengikuti jalan nabi, para sahabat dan tabi’in.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa Ahlusunnah wal Jama’ah adalah mereka yang berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya dan orang- orang yang mengikuti jejak dan jalan mereka, baik dalam hal ‗aqidah, perkataan maupun perbuatan, juga mereka yang istiqamah (konsisten) dalam ber-ittiba' (mengikuti Sunnah Nabi SAW) dan menjauhi perbuatan bid'ah. Mereka itulah golongan yang tetap menang dan senantiasa ditolong oleh Allah sampai hari Kiamat. Oleh karena itu mengikuti mereka (Salafush Shalih) berarti mendapatkan petunjuk.

Sedangkan menurut Syekh Abu al-Fadl Abdus Syakur As-Senori dalam karyanya “Al- Kawakib al- Laama‘ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah” menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jamaah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW dan thoriqoh para sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf). Dan menurut Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani dalam kitabnya, Al- Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq juz I hal 80 mendefinisikan Ahlussunnah wal jamaah sebagai berikut “Yang dimaksud dengan assunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan Beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jamaah adalah segala sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa empat Khulafa‘ur-Rosyidin dan telah diberi hidayah Allah “.

Dalam sebuah hadits dinyatakan :

Dari Abi Hurairah r.a., Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Dan umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka kecuali satu. Berkata para sahabat : ―Siapakah mereka wahai Rasulullah?‘‘ Rasulullah SAW menjawab :

―Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.‖. HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah.

Aswaja Sebagai Mazhab

Pada mulanya aswaja dipandang dan digunakan sebagai mazhab (aliran,sekte, ideologi , atau sejenisnya) hal ini menyebabkan aswaja disini diannut sebagai doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi yang seperti ini menimbulkan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya. Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seorang hanya mengamalkan apa yang telah menjadi doktrin dalam ajaran aswaja. Doktrin-doktrin ini terhimpun dalam kitab-kitab yang telah dikarang oleh ulama yang ada sebelumnya. Seperti disinggung diatas, aswaja sebagai doktrin banyak dijumpai pada wacana-wacana yang dibawa oleh pendiri NU.

KH Hasyim Asyari selaku pendiri NU menjelaskan dalam kitab qonun asasi Nahdlatul Ulama mengenai aswaja adalah yang dalam bidang aqidah berpegang pada abu hasan al-asya’ari dan abu mansur al maturidi, dalam bidang fiqih mengikuti empat mazhab yaitu imam hanafi, maliki, syafi’I dan hambali. Dan dalam bidang tasawuf mengikuti imam al-ghazali dan imam junai al-baghdadi. 

Aswaja Sebagai Metode (Manhaj)

Pada era ketika NU pertama kali didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari, kalangan petinggi NU menempatkan paham Alusunnah Wal Jama’ah sebagai ideologi, semacam Korpus Tertutup yang tabu untuk dibongkar kembali. Tetapi seiring dengan berkembangnya pemikiran keislaman dalam komunitas anak-anak muda NU sejak era 90-an, paham Ahlusunnah Wal Jama’ah tidak lagi didekap sebagai ideologi mapan melainkan didekonstruksi lebih jauh menjadi metodologi berpikir (manhaj fikri). Mengingat kembali pertanyaan diatas terkait dengan pengandaian kontradiktif ini dimana seandainya para uama pendahulu NU masih sekarang, apa dan bagaimana reaksi mereka ketika menyaksikan anak-anak muda NU menjadikan Aswaja hanya sebagai “cara berpikir” yang tidak mengikat mereka baik dalam praksis teologi (aqidah) maupun yurisprudensi (Fiqh). Tentu saja gagasan seperti ini belum dikenal di era era awal berdirinya NU. 

Dalam artikulasi orang NU, paham Ahlusunnah Wal Jama’ah itu sering disingkat dengan istilah Aswaja- Mereka lebih akrab dengan istilah ini daripada istilah Sunni kendatipun menunjuk pada pengertian yang sama. Oleh karena itu, istilah Aswaja ini yang justru lebih popular dalam berbagai diskursus yang mereka bangun. 

Tulisan ini sesungguhnya dimaksudkan sebagai materi awal yang ditujukan kepada kader kader pemula dalam memahami Aswaja serta berbagai dinamika penafsirannya dalam komunitas NU. Dan dalam hal ini, PMII sebagai representasi kalangan mahasiswa di tubuh NU terasa sangat perlu untuk mendapatkan penjelasan bagi kader-kader barunya secara mendasar mengenai Aswaja baik sebagai ideologi maupun perkembangan selanjutnya sebagai Manhajul Fikri. Dan lebih mutakhir nantinya, Aswaja sebagai Manhajul Harakah. 

Ahlusunnah Wal Jamaah (disingkat Aswaja) itu adalah sekte (aliran) dalam agama Islam. Lebih tepatnya disebut sebagai aliran pemikiran. Ia bukan agama Islam itu sendiri. Dan sebagai sebuah sekte, Aswaja memiliki metode pemikiran sendiri yang khas untuk mengartikan pesan-pesan agama yang tersimpan dalam Al Quran dan hadits sebagai sumber utama ajaran Islam.

Itu berarti, sebagai sebuah aliran pemikiran, berarti Aswaja pada mulanya hanya merupakan hasil kerja tafsir dari seorang ulama terhadap teks inti ajaran Islam yang bersemayam dalam Al Quran dan Sunnah melalui metode berpikir khas seperti disebutkan diatas. Hasil kerja tafsir itu lantas disatukan menjadi gugusan pemikiran yang disistematisir lantas disebarluaskan. Dalam hal ini, sang ulama memakai metologi tertentu untuk menafsirkan ajaran Al Quran dan Sunnah tersebut. Nah, cara berpikir seperti ini disebut sebagai cara berpikir metodologis atau disebut “Manhaj” atau bahasa ilmiahnya “Metode”. 

Publik yang membaca hasil pemikiran itu ada yang menolak dan yang menerima. Pihak yang menerima lantas meyakini bahwa tafsir itulah yang benar untuk mengartikulasikan sekaligus mengaplikasikan kewajiban keagamaan. Saat itulah terbentuk sekte. Biasanya nama sekte itu dikaitkan dengan nama ulama yang pertama kali menyusun pemikiran tafsir ajaran inti agama diatas diatas. Misalnya, aliran Wahabi disandarkan pada pendiri pertama aliran tersebut yaitu Muhammad Ibn Abdil Wahhab. 

Dalam hal ini Ahlussunnah Wal Jamaah bukan satu-satunya gugusan pemikiran yang mencoba untuk mereinterpretasikan ajaran Islam. Disana Ada Syiah yang juga memiliki gugus pemikiran tersendiri untuk menafsirkan ajaran inti agama. Ada Khawarij, ada Murji’ah, ada Muktazilah, ada Jabariyah, ada Qadariyah, dan lain-lain. Artinya, sekte dalam Islam itu banyak. Dan masing-masing sekte itu memiliki ciri khas penalaran mereka terhadap Al Quran dan Sunnah. 

Lama kelamaan, gugus pemikiran dari seorang ulama itu kemudian dihayati dan dijadikan ideologi (keyakinan) oleh para pengikutnya. Nah, para pengikut inilah yang kemudian membakukan gugusan pemikiran ulama itu dan meletakkannya sebagai korpus tertutup dan menyandingkannya sebagai setara dengan agama. Seakan-akan mereka memproklamirkan bahwa, “Tafsir yang diberikan oleh Ulama A terhadap Al Quran dan Sunnah adalah yang paling benar dan itulah maksud sesungguhnya dari agama”. 

Termasuk dalam hal ini Ahlussunnah Wal Jamaah yang semula hasil pemikiran, kemudian ditaruh di etalase keyakinan sebagai ideologI dan didudukkan setara dengan agama itu sendiri. Pada saat itulah benturan antar sekte dimulai. Yaitu tatkala masing-masing pengikut sekte memandang bahwa tafsir yang mereka yakini itulah yang paling benar dan mewakili secara total maksud dari ajaran agama sesungguhnya. 

Sikap dan pandangan bahwa aliran yang diikuti adalah aliran yang paling benar dan mewakili pesan agama secara total disebut “klaim kebenaran (truth claim)”. Dan cara berpikir bahwa aliran sendiri yang paling benar disebut sebagai cara berpikir “ideologis”. 

Sejarah telah membuktikan bahwa cara berpikir ideologis ini telah menimbulkan banyak sekali benturan antar sekte sepanjang sejarah Islam, antara Syiah dan Khawarij, antara Muktazilah dengan Ahlussunnah, Antara Wahabi dengan Syiah, atau antara Ahlusunnah dengan Wahabi. Oleh karena itu, cara berpikir ideologis itu dalam memandang sekte-sekte dianggap telah melahirkan anak cucu berupa benturan dan bahkan pertikaian berdarah dalam sejarah. Dan cara berpikir seperti ini dianggap tidaklah produktif bagi perkembangan Islam sebagai sebuah peradaban, bukan hanya agama.

Rumusan Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr

Jika kita mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syariat (islam) ataupun akhlak (ihsan), maka bisa kita dapati sebuah metodologi pemikiran (manhaj alfkr) yang tengah dan moderat (tawassuth), berimbang atau harmoni (tawâzun), netral atau adil (ta'âdul), dan toleran (tasâmuh). Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa menghidari sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau ekstrim kiri. Inilah yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham ASWAJA dengan sekte-sekte Islam lainnya. Dan dari prinsip metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA membangun keimanan, pemikiran, sikap, perilaku dan gerakan.

  1. Tawasuth (Moderat) 

Tawassuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri.Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini didasarkan pada firman Allah: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Albaqarah: 143).

  1. Tawâzun (Berimbang) 

Tawâzun ialah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil (pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah keputusan dan kebijakan.Dalam konteks pemikiran dan amaliah keagamaan, prinsip tawâzun menghindari sikap ekstrim (tatharruf) yang serba kanan sehingga melahirkan fundamentalisme, dan menghindari sikap ekstrim yang serba kiri yang melahirkan liberalisme dalam pengamalan ajaran agama. Sikap tawâzun ini didasarkan pada firman Allah: Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Alhadid: 25). 

  1. Ta'âdul (Netral dan Adil) 

Ta'âdul ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan menyelesaikan segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara (tamâtsul). Adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. Kalaupun keadilan menuntut adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika realitas individu benar-benar sama dan setara secara persis dalam segala sifat-sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi tafâdlul (keunggulan), maka  keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlîl). Penyetaraan antara dua hal yang jelas tafâdlul, adalah tindakan aniaya yangbertentangan dengan asas keadilan itu sendiri. Sikap ta'âdul ini berdasarkan firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS. Alma'idah: 8).

  1. Tasâmuh (toleran) 

Tasâmuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain sebagainya.Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan bukan berarti kompromi akidah. Bukan berarti mengakui kebenaran keyakinan dan kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan berarti mengakui kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang haq dan benar.Yang salah dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan. Dan yang haq dan benar harus tetap diyakini sebagai kebenaran yang haq. Dalam kaitannya dengan toleransi agama, Allah SWT berfirman: Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Alkafirun: 6). Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85) 

Toleransi dalam konteks tradisi-budaya bangsa, ialah sikap permisif yang bersedia menghargai tradisi dan budaya yang telah menjadi nilai normatif masyarakat. Dalam pandangan ASWAJA, tradisi budaya yang secara substansial tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan nilai-nilai keislaman. 

Dengan demikian, tasâmuh (toleransi), berati sebuah sikap untuk menciptakan keharmonisan kehidupan sebagai sesama umat manusia. Sebuah sikap untuk membangun kerukunan antar sesama makhluk Allah di muka bumi, dan untuk menciptakan peradaban manusia yang madani. Dari sikap tasâmuh inilah selanjutnya ASWAJA merumuskan konsep persaudaraan (ukhuwwah) universal. Meliputi ukhuwwah islamiyyah (persaudaan keislaman), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaaan) dan ukhuwwah basyariyyah atau insâniyyah (persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari firman Allah SWT: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Alhujurat; 13). Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. (QS. Albaqarah: 30)


Aswaja sebagai Manhaj Al-Harakah

Aswaja merupakan basis dasar nilai organisasi. Hal ini berarti kehidupan dan gerakan PMII senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai tersebut sehingga secara langsung membentuk identitas komunitas. Lebih dari itu, Aswaja merupakan inspirasi gerakan dan sekaligus alat bergerak yang membimbing para aktivisnya dalam memperjuangkan cita-cita kebangsaan dan kemanusiaan. Ini sudah dibuktikan misalnya komitmen gerakan yang tidak melenceng dari cita-cita kebangsaan itu, sementara di sisi lain tetap berkomitmen dengan cita-cita Islam yang humanis, pluralis, demokratis, egaliter, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Di atas landasan ini pula organisasi PMII bergerak membangun jati diri komunitasnya dan arah gerakannya. Berikut ini beberapa nilai-nilai yang terkandung dan menjadi dasar disetiap langkah gerakan Aswaja PMII:

Kontekstualisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Maqosidu Al-Syar`iy :

  1. Hifzunnafs Menjaga hak hidup (hak azazi manusia)

  2. Hifdzuddin pluralisme (kebebasan berkeyakinan)

  3. Hifdzul `aqli (kebebasan berfikir)

  4. Hifdzulmaal (kebebasan mencari penghidupan)

  5. Hifdzul nasab (kearifan local)

Karakteristik Ulama Ahlussunnah Waljama`ah dalam berfikir dan bertindak: Tasamuh (toleran), Tawazun (menimbang-nimbang), Ta’adul (berkeadilan untuk semua), `Adamu ijabi birra`yi. (tidak merasa paling benar), `Adamuttasyau` (tidak terpecah belah), `Adamulkhuruj. (tidak keluar dari golongan), Alwasatu.(selalu berada ditengah-tengah), Luzumuljamaah. (selalu berjamaah), `Adamuitbailhawa (tidak mengikuti hawa nafsu) Puncak dari semuanya adalah Ta’awun (saling tolong menolong).

Nahdlatul Tujjar, Nahdlatul Wathan, dan Taswirul Afkar (sebuah refleksi sejarah dan formulasi arah gerak

PMII sebagai kader-kader muda nahdlatul ulama yang secara kultural terikat dengan nahdlatul ulama sesuai dengan keputusan interdependensi PMII tentu bukan hal yang salah apabila kita menengok kebelakang untuk menyelidiki dan menyelami kembali spirit yang dibawa oleh nahdlatul ulama ketika awal-awal pendirian. Berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama tidak dapat dipisahkan dari 3 organisasi pendahulunya yang merupakan embrio dari NU itu sendiri. Ketiga organisasi yang sedikit banyak ada peran bagaimana KH Wahab Hasbullah Kala itu sebagai ulama sunni yang sangat berpengaruh kala itu. Tiga organisasi ini bernama Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Ekonomi), Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Negara) dan Taswirul Afkar (Bangkitnya Pemikiran). 

Embrio berdirinya NU berasal dari tiga organisasi. Masing-masing bergerak dalam bidang yang berbeda, Nahdlatut Tujjar pada tahun 1918 yang bergerak dalam bidang ekonomi, Taswirul Afkar yang bergerak dalam bidang keilmuan dan budaya pada tahun 1922, dan Nahdlatul Wathon yang bergerak dalam bidang politik melalui bidang pendidikan pada tahun 1924. Tiga hal ini merupakan pilar NU yang meliputi wawasan ekonomi kerakyatan; wawasan keilmuan, sosial budaya; dan wawasan kebangsaan.

Saat ini ketiga organisasi tersebut sudah tidak ada lagi dan sudah melebur menjadi satu dalam tubuh organisasi besar bernama Nahdlatul Ulama. Namun spirit yang dibawah oleh ketiga organisasi ini bolehlah kiranya dijadikan oleh PMII sebagai acuan dalam arah gerak PMII kedepan dimana ketiga spirit ini masih linear dengan maqaidu syar’iyah apabila kita membicarakan aswaja sebagai landasan dalam bergerak atau Manhaj Al-Harokah.  

Perspektif Sosial Ekonomi 

Menyangkut bagaimana Ahlu Sunnah wa al-Jama‘ah dikerangkakan sebagai alat baca, perlu kiranya kita mulai pembacaan dan identifikasi persoalan yang dilanjutkan dengan perumusan kerangka teoritis dengan dilengkapi kerangka tawaran langkah langkah yang akan kita ambil baik strategis maupun taktis. Pertama, perlunya pembacaan yang cukup cermat atas realitas sosial ekonomi Indonesia. Ini diperlukan terutama untuk mengurai lapis-lapis persoalan yang ada dan melingkupi kehidupan sosial- ekonomi kita. Di antara beberapa persoalan yang harus kita dekati dalam konteks ini adalah: 

  1. Fenomena kapitalisme global yang termanifestasikan melalui keberadaan WTO, world bank dan juga IMF, serta institusi-institusi pendukungnya. 

  2. Semakin menguatnya institusi-institusi ekonomi kepanjangan tangan kekuatan global tersebut di dalam negeri. Kekuatan-kekuatan tersebut memanifest melalui kekuatan bisnis modal dalam negeri yang berkolaborasi dengan kekutaan ekonomi global, ataupun melalui TNC atau MNC. 

  3. Liberalisasi barang dan jasa yang sangat berdampak pada regulasi barang dan jasa ekspor - impor. 

Fenomena pertama berjalan dengan kebutuhan pasar dalam negeri yang sedang mengalami kelesuan investasi dan kemudian mendorong pemerintah untuk mengajukan proposal kredit kepada IMF dan WB. Pengajuan kredit tersebut membawa konsekuensi yang cukup signifikan karena Indonesia semakin terintegrasi dengan ekonomi global. Hal ini secara praktis menjadikan Indonesia harus tunduk pada berbagai klausul dan aturan yang digariskan baik oleh WB maupun IMF sebagai persyaratan pencairan kredit. Dan aturan-aturan itulah yang kemudian kita kenal dengan structural adjustment program (SAP), yang antara lain berwujud pada; 

  1. Pengurangan belanja untuk pembiayaan dalam negeri yang akan berakibat pada pemotongan subsidi masyarakat. 

  2. Dinaikkannya pajak untuk menutupi kekurangan pembiayaan akibat diketatkan APBN. 

  3. Peningkatan suku bunga perbankan untuk menekan laju inflasi. 

  4. Liberalisasi pasar yang berakibat pada terjadinya konsentrasi penguasaan modal pada segelontir orang dan liberalisasi perdagangan yang mengakibatakan munculnya penguasaan sektor industri oleh kelompok yang terbatas. 

  5. Privatisasi BUMN yang berakibat pada penguasaan asst-aset BUMN oleh para pemilik asing. 

  6. Restrukturisasi kelayakan usaha yang mengakibatkan munculnya standar usaha yang akan mempersulit para pelaku usaha menengah dan kecil.


Karakter umum liberalisasi yang lebih memberikan kemudahan bagi arus masuk barang dan jasa (termasuk invesasi asing) dari luar negeri pada gilirannya akan mengakibatkan lemahnya produksi domestic karena harus bersaing dengan produk barang dan jasa luar negeri. Sementara di level kebijakan pemerintah semakin tidak diberi kewenangan untuk mempengaruhi regulasi ekonomi yang telah diambil alih sepenuhnya oleh pasar. Sebuah ciri dasar dari formasi sosial neo-liberal yang menempatkan pasar sebagai aktor utama. Sehingga pengelolaan ekonomi selanjutnya tunduk pada mekanisme pasar yang float dan fluktuatif.

Implikasi yang muncul dari pelaksanaan SAP ini pada sektor ekonomi basis (petani, peternak, buruh, dan lain sebagainya) adalah terjadinya pemiskinan sebagai akibat kesulitan- kesulitan stuktural yang mereka hadapi akibatnya menguntungkan investor asing. Terlebih ketika sektor ekonomi memperkenalkan istilah foreign direct investment (FDI) yang membawa arus deras investor asing masuk ke Indonesia secara langsung. Derasnya arus investasi yang difasilitasi oleh berbagai kebijakan tersebut pada gilirannya akan melemahkan para pelaku usaha kecil dan menengah.Dari akumulasi berbagai persoalan tersebut, ada beberapa garis besar catatan kita atas realitas sosial-ekonomi;

  1. Tidak adanya keberpihakan Negara kepada rakyat. Ini bisa kita tengarai dengan keberpihakan yang begitu besar terhadap kekeutan-kekuatan modal internasional yang pada satu segi berimbas pada marjinalisasi besar-besaran terhadap kepentingan umat. Terhadap persoalan tersebut kita perlu mengerangkan sebuah model pengukuran pemihakan kebijakan. Dalam khazanah klasik kita mengenal satu kaidah yang menyatakan bahwa kebijakan seorang imam harus senantiasa mengarah kepada tercapainya kemaslahatan umat (Tasarruf al-Imam ‗ala al-Raiyati manuntun bi al- Maslahah).

  2. Tidak terwujudnya keadilan ekonomi secara luas. Arus investasi yang mendorong laju industrialisasi pada satu segi memang positif dalam hal mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri. Namun pada segi yang lain menempatkan pekrja pada sebagi pihak yang sangat dirugikan. Dalam point ini kita menemukan tidak adanya keseimbngan distribusi hasil antara pihak investor dengan tenaga kerja. investor selalu berada dalam posisi yang diuntungkan, sementara pekerja selalu dalam posisi yang dirugiakn. Sebuah kondisi yang akan mendorong terjadinya konglomerasi secara besar- besaran. Sehingga diperlukan pemikiran untuk menawarkan jalan penyelesaian melalui apa yang kita kenal dengan profit sharing. Yang dalam khazanah klasik kita kenal dengan mudharabah ataupun mukhabarah. Sehingga secara opertif pemodal dan pekerja terikat satu hubungan yang saling menguntungkan dan selanjutnya berakibat pada produktifitaas kerja.

  3. Pemberian reward kepada pekerja tidak bisa menjawab kebutuhan yang ditanggung oleh pekerja. Standarisasi UMR sangat mungkin dimanipulasi oleh perusahaan dan segi tertentu mengkebiri hak- hak pekerja. Ini terjadi karena hanya didasarkan pada nilai nominal dan bukan kontribusi dalam proses produksi. Dalam persoalan ini kita ingin menawarkan modal manajemen upah yang didasarkan pada prosentasi kontribusi yang diberikan oleh pekerja kepada perusahaan ataupun proses produksi secara umum. Standarisasi yang kita sebut dengan UPH (upah prosentasi hasil) pada seluruh sektor ekonomi. Salah satu pertimbangan usulan ini adalah kaidah atau sebuah ayat bahwa harus ada distribusi kekayaan dalam tubuh umat itu secara adil dan merata untuk mencegah adanya konglomerasi ekonomi.

  4. Tidak adanya perlindungan hukum terhadap pekerja. Hal ini bisa kita lihat dari maraknya kasus PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan. Ataupun contoh lain yang mengindikasikan satu kecenderungan bahwa kebijakan- kebijakan Negara lebih banyak diorientasikan semata untuk menarik investasi sebesar-besarnya tanpa pernah memikirkan implikasi yang akan muncul dilapangan. Termasuk potensi dirugikannya masyarakat baik secara ekologis (lingkungan dalam kaitannya dengan limbah industri), ekonomis (tidak berimbangnya penghasilan dengan daya beli), ataupun secara geografis (dalam hal semakin berkurangnya lahan pertanian ataupun perkebunan). Hampir tidak ada klausul level ini kita menuntut pemberlakuan undang-undang pasal 28b UUD 1945 serta perlakuan perlindungan hak pekerja yang dicetuskan kepada konferensi ILO.

  5. Perlunya masyaraakat dilibatkan dalam pembicaraan mengenai hal-hal penting berkaitan dengan pembuatan rencana kebijakn investasi dan kebijakan- kebijakan lain yang berhubungan secara langsung dengan hajat hidup orang banyak. Ini diperlukan untuk mengantisipasi potensi resistan yang ada dalam masyarakat termasuk scenario plan dari setiap kebijakan. Berkaitan dengan ini smapai di level kabupaten/kotamadya bahkan tingkat desa masih terdapat ketidakadilan informasi kepada masyarakat. Sehingga masyarakat hampir- hampir tidak mengetahui apa yang telah, sedang dan akan dilakukan pemerintah di wilayah mereka. Kondisi demikian pada banyak level akan merugikan masyarakat yang seharusnya mengetahui informasi-informasi tersebut secara merata.


Hal lain yang juga menyangkut persoalan ekonomi adalah perlunya elaborasi atas rujukan- rujukan fiqhiyah (termasuk ushul fiqh) bagi kerangka-kerangka operasional Ahlu Sunnah wa al-Jama‘ah sebagai manhaj al-fikr. Kebutuhan akan elaborasi ini dirasa sangat mendadak, terutama mengingat adanya kebingungan di beberapa tempat menyangkut ideologi dasar PMII dan kerangka paradigmanya terlebih jika dikaitkan dengan kemapuan Ahlu Sunnah wa al-Jama‘ah untuk menyediakan kerangka operatif yang akan memandu kader- kader PMII dilapangan masing-masing.

Pembicaraan mengenai berbagai persoalan tersebut mengantar kita untuk menawarkan langkah praktis berupa kerangka pengembangan ekonomi yang kemudian kita sebut sebagai konsep ekonomi bedikari. Konsep ini secara umum bisa kita definisikan sebagai konepsi pengelolaan ekonomi yang dibangun di atas kemampuan

kita sebagai sebuah Negara.untuk mendukung tawaran tersebut, lima langkah stategis diusulkan;

  1. Adanya penyadaran terhadap masyarakat tentang struktur penindasan yang terjadi.

  2. Penghentian hutang luar negeri

  3. Adanya internalisasi ekonomi Negara.

  4. Pemberlakuan ekonomi political dumping.

  5. Maksimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dengan pemanfaatan tekhnologi berbasis masyarakat lokal (society-based technology).

Perspektif Sosial Politik, Hukum & HAM

Akar permasalahan sosial, politik, hukum dan HAM terletak pada masalah kebijakan (policy). Satu kebijakan seyogyanya berdiri seimbang di tengah relasi ―saling sadar‖ antara pemerintah, masyarakat dan pasar. Tidak mungkin membayangkan satu kebijakan hanya menekan aspek kepentingan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Dalam satu kebijakan harus senantiasa melihat dinamika yang bergerak di orbit pasar. Dalam kasus yang lain tidak bias jika kemudian pemerintah hanya mempertimbangkan selera pasar tanpa melibatkan masyarakat didalamnya.

Persoalan muncul ketika: 1). kebijakan dalam tahap perencanaan, penetapan, dan pelaksanaannya seringkali monopoli oleh pemerintah. Dan selama ini kita melihat sedikit sekali preseden yang menunjukan keseriusan pemerintah untuk melibatkan masyarakat.2). kecendrungan pemerintah untuk selalu tunduk kepada kepentingan pasar, sehingga pada beberapa segi seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat.

Kedua kondisi tersebut jika dibiarkan akan menggiring masyarakat pada posisi yang selalu dikorbankan atas nama kepentingan pemerintah dan selera pasar. Dan akan menciptakan kondisi yang memfasilitasi tumbuhnya dominasi dan bahkan otoritarianisme baru.

Kemudian kaitannya dengan Ahlussunnah wal Jama‘ah yang juga menjadi nilai dasar (NDP) PMII, dimana substansinya adalah jalan tengah, maka sudah sepatutnya bahwa PMII memposisikan diri di tengah untuk mencari titik temu sebagai solusi. Dengan sikap seperti itu, PMII mengikuti nilai Ahlussunnah wal Jama‘ah. Nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama‘ah seperti tawazun, akan dapat melahirkan nilai Ahlussunnah wal Jama‘ah yang ta‘adul. Dalam hal ini, yang menjadi titik tekan adalah dengan strategi dapat meruntuhkan kekuasaan dominan dan otoriter yang pada akhirnya bermuara menjadi gerakan revolusiner.

Sekali lagi, cara revolusioner merupakan langkah akhir ketika ada alternatif lain win win solution atau ishlah bisa ditawarkan, maka cara revolusioner meski dihindarkan. Saat ini kondisi sosial politik Indonesia mengalami degradasi luar biasa. Ada empat variabel yang dapat membantu mencari akar persoalan.

Pertama, Negara dan pemerintahan. Dalam hal ini belum mampu menjawab tuntutan masyarakat kelas bawah. Dengan adanya kebijakan-kebijakan yang sebtulnya tidak berpihak pada rakyat, seperti adanya kenaikan harga-harga, merupakan salah satu pemicu munculnya ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara Negara. Kedua, militer. Pada dasarnya adanya militer adalah karena untuk mengamankan Negara dari ancaman, bukan malah mengancam. Selama 32 tahun masyarakat Indonesia mempunyai pengalaman pahit dengan perlakuan- perlakuan militer. Meski, dalam hal tersebut harus ada pemilihan, secara institusional, institusi dan secara personal. Keinginan menjadikan militer professional merupakan cerminan adanya keinginan militer untuk berubah lebih baik. Namun, penegasan dan upaya ke arah professionalitas militer masih belum cukup signifikan dan menampakkan hasil. Peran militer terutama pada wilayah sosial politik menjadi cataan tersendiri yang harus

dikontrol. Bukan berarti mengeliminir hak-hak militer sebagai salah satu komponen Negara yang juga berhak mengapresiasikan kehendaknya. Tetapi karena menyadari betul, militer sangat dibutuhkan pada wilayah dan pertahanan Negara, maka tidak seharusnya menarik- narik militer ke medan politik yang jelas-jelas bukanlah arena militer. Ketiga, kalangan sipil. Ironisnya, ketika ada keinginan membangun tatanan civil society, yang arahnya ingin membangun supermasi sipil, namun kenyataannya kalangan sipil terutama politisi sipil acapkali mengusung urusan Negara (pemerintahan) serta militer ke wilayah politik yang lebih luas. Sehingga yang terjadi adalah ketidakjelasan peran dan fungsi masing-masing. Fungsi dan peran (pemerintahan) adalah sebagai penyelenggara bukanlah sebagai penguasa tunggal. Oleh karena itu Negara selalu dikontrol.

Namun contoh yang semestinya berasal dari masyarakat ataupun kalangan politisi yang mewakili di parleman kecendrungannya seperti dijelaskan sebelumnya, menyeret- nyeret dan seringkali mencampuradukkan urusan pemerintah dan militer ke dalam wilayaah politik. Oleh karena itu dari ketiga variabel tersebut pada kondisi kekinian yang ada, perlu penegasan dan penjelasan terhadap peran dan fungsi serta posisinya masing- masing. Terutama bagi kalangan sipil yang tereduksi menjadi kalangan politisi untuk tidak membawa kepentingan- kepentingan politiknya memasuki arena lain. Jika itu tetap berlangsung (ketidakjelasan peran dan fungsi Negara, militer dan parlemen atau parpol bahkan lembaga peradilan) maka niscaya ketidakpercayaan rakyat semakin mengkristal terhadap semua institusi tersebut.

Perspektif Sosial Budaya

Persoalan social-budaya di Indonesia dapat dilihat dengan menggunakan; Pertama, analisa terhadap kondisi social budaya masyarakat, baik pada tingkatan lokal atau pada tingkat global. Kedua, analisa nilai-nilai budaya yang kemudian didalamnya terdapat nilai-nilai ke- Ahlussunnah wal Jama‘ah-an sebagai nilai yang terpatri untuk melakukan perubahan ketika kondisi sosial budaya menjadi dasar pijakan. Dari itu semua, pembentukan karakter budaya menjadi tujuan akhirnya.

Ahlussunnah wal Jama‘ah dalam konteks sosial budaya dijadikan nilai-nilai yang kemudian menjadi alat untuk melakukan perubahan sosial budaya. Ekplorasi terhadap permasalahan lokal maupun global merupakan cara untuk mengetahui akar persoalan sosial budaya yang terjadi. Bahwa pada kenyataannya globalisasi ternyata mengikis budaya lokal didalam seluruh aspek kehidupan. Globalisasi tanpa kita sadari telah merusak begitu dalam sehingga mengaburkan tata sosial budaya Indonesia. Ironsnya, masyarkat menikmati produk- produk globalisasi sementara produk lokal menjadi teralienasi. Berangkat dari kondisi tersebut, perlu adanya strategi budaya untuk melakukan perlawanaan ketika hegemoni kapitalisme global semakn ―menggila‖. Salah satu straegi itu mnejadikan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama‘ah sebagai dasar strategi gerakan. Strategi yang dimaksud bisa dalam bentuk penguatan budaya-budaya lokal.

Dalam konteks sosial budaya, posisi Negara dengan masyarakat bukanlah vis-a-vis tetapi sebagaimana Negara, pasar dan globalisasi secara umum dapat sejajar. Terkait denga itu, PMII harus dapat menjembatani keinginan-keinginan masyarakat terhadap Negara agar kebijakan-kebijakan Negara tidak lagi merugikan masyarakat dan tidak lagi menguntungkan kapitalis global.

PMII harus secara tegas mengambil posisi ini untuk membantu mengantisipasi dampak ekonomi pasar dan globalisasi terhadap masyarakat.Terutama untuk penerjemahan kebijakan Negara, kebijakan ekonomi pasar kemudian globalisasi secara umum yang berdampak pada pihak local yang sebetulnya menjadi sasaran distribusi barang. Juga mempengaruhi budaya. Disisnilah peran PMII dengan seperangkat nilai- nilai idealnya seperti tawazun, tasamuh dan ta‘adul menjadi dasar guna menjembatani kesenjangan antara wilayah internal masyarakat Indonesia. Berdasarkan hal itu maka pilihan agregasi PMII harus senantiasa diorientasikan untuk mengerangkakan formulasi rekayasa sosial yang diabdiakn sebesar-besarnya bagi pemberdayaan masyarakat dihadapan Negara maupun pasar. Sehingga dapat tercipta perimbangan kekuatan yang akan memungkinkan terbentuknya satu tatanan masyarakat yang relasional-partisipatif antara Negara, pasar, PMII dan masyarakat, dimana PMII dengan masyarakat merupakan kesatuan antara system dengan subsisitem yang mencoba menjembatani masyarakat, Negara dan pasar. PMII dengan demikian berdiri dalam gerak transformasi harapan dan kebuthan masyarakat dihadapan Negara dan pasar.

Aswaja & Tantangan Masa Depan

Sebelum kelompok-kelompok teologis dalam Islam lahir, Ahlussunnah Wal Jamaah (selanjutnya disebut Aswaja) adalah umat Islam itu sendiri. Namun setelah kelompok- kelompok teologis muncul, Aswaja berarti para pengikut Abu Hasan al-Asy‘ari dan Abu Manshur al-Maturidi. Dalam pengertian terakhir ini, Aswaja sepadan dengan kelompok- kelompok teologis semisal Mu‘tazilah, Syiah, Khawarij dan lain-lain.

Dalam sejarahnya, kemunculan kelompok-kelompok ini dipicu oleh masalah politik tentang siapakah yang berhak menjadi pemimpin umat Islam (khalifah) setelah kewafatan Rasulullah, Muhammad SAW. Setelah perdebatan antara kelompok sahabat Muhajirin dan Anshor dituntaskan dengan kesepakatan memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama, kesatuan pemahaman keagamaan umat Islam bisa dijaga. Namun menyusul huru-hara politik yang mengakibatkan wafatnya khalifah ketiga, Utsman Bin Affan, yang disusul dengan perang antara pengikut Ali dan Muawiyah, umat Islam terpecah menjadi kelompok-kelompok Syiah, Khawarij, Ahlussunnah dan –disusul belakangan, terutama ketika perdebatan menjadi semakin teologis oleh—Mu‘tazilah dan lain-lain.

Aswaja melihat bahwa pemimpin tertinggi umat Islam ditentukan secara musyawarah, bukan turun- temurun pada keturuan Rasulullah SAW sebagaimana pandangan Syiah. Aswaja memandang keseimbangan fungsi nalar dan wahyu, tidak memposisikan wahyu di atas nalar sebagaimana pandangan Mu‘tazilah. Aswaja melihat manusia memiliki kekuasaan terbatas (kasb) dalam menentukan perbuatan- perbuatannya, bukan semata disetir oleh kekuatan absolut di luar dirinya (sebagaimana pandangan Jabariyah) atau bebas absolut menentukan perbuatannya (sebagaimana pandangan Qadariyah dan Mu‘tazilah).

Pada wilayah penggalian hukum fiqh, Aswaja (sebagaimana diwakili oleh Imam yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi‘i dan Hanbali) bersepakat menggunakan empat sumber hukum: Al- Qur‘an, Sunnah, Ijma‘, Qiyas; dan tidak bersepakatan dalam menggunakan sumber-sumber yang lain semisal: istihsan, maslahah mursalah, amal ahl al madinah dan lain-lain. Setelah melalui evolusi sejarah panjang, Aswaja sekarang ini menjadi mayoritas umat Islam yang tersebar mulai dari Jakarta (Indonesia) hingga Casablanca (Maroko), disusul oleh Syi‘ah di Iran, Bahrain, Lebanon Selatan; dan sedikit Zaidiyah (pecahan Mu‘tazilah) di sejumlah tempat di Yaman. Dengan mengacu pada ajaran Muhammad Bin Abdulwahhab, rezim Saudi Arabia berafiliasi kepada apa yang disebut Wahabi. Sementara di Asia Selatan (Afganistan dan sekitarnya) reinkarnasi Khawarij menemukan tanah pijaknya dengan sikap-sikap keras dalam mempertahankan dan menyebarkan keyakinan.

Di Indonesia, Aswaja kurang lebih sama dengan nahdliyin (sebutan untuk jamaah Nahdlatul Ulama), meskipun jamaah Muhammadiyah adalah juga Aswaja dengan sedikit perbedaan pada praktik hukum-hukum fiqh. Artinya, arus besar umat Islam di Indonesia adalah Aswaja. Yang paling penting ditekankan dalam internalisasi ajaran Aswaja di Indonesia adalah sikap keberagamaan yang toleran (tasamuh), seimbang (tawazun),

 

moderat (tawassuth) dan konsisten pada sikap adil (i‘tidal). Ciri khas sikap beragama macam inilah yang menjadi kekayaan arus besar umat Islam Indonesia yang menjamin kesinambungan hidup Indonesia sebagai bangsa yang plural dengan agama, suku dan kebudayaan yang berbeda-beda.

Ada dua kekuatan besar yang menjadi tantangan Aswaja di Indonesia sekarang ini dan di masa depan: kekuatan liberal di satu pihak dan kekuatan Islam politik garis keras di pihak yang lain. Kekuatan liberal lahir dari sejarah panjang pemberontakan masyarakat Eropa (dan kemudian pindah Amerika) terhadap lembaga-lembaga agama sejak masa pencerahan (renaissance) yang dimulai pada abad ke-16 masehi; satu pemberontakan yang melahirkan bangunan filsafat pemikiran yang bermusuhan dengan ajaran (dan terutama lembaga) agama; satu bangunan pemikiran yang melahirkan modernitas; satu struktur masyarakat kapital yang dengan globalisasi menjadi seolah banjir bandang yang siap menyapu masyarakat di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Sebagai reaksinya, sejak era perang dingin berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet, Islam diposisikan sebagai ―musuh‖ terutama oleh kekuatan superpower: Amerika Serikat dan sekutunya. Tentu saja bukan umat Islam secara umum, namun sekelompok kecil umat Islam yang menganut garis keras dan secara membabi-buta memusuhi non muslim. Peristiwa penyerangan gedung kembar pusat perdagangan di New York, Amerika, 11 September 2001, menjadikan dua kekuatan ini behadap-hadapan secara keras. Akibatnya, apa yang disebut ‗perang terhadap terorisme‘ dilancarkan Amerika dan sekutunya dimana-mana di muka bumi ini.

Yang patut digaris bawahi: dua kekuatan ini, yang liberal dan yang Islam politik garis keras, bersifat transnasional, lintas negara. Kedua-duanya menjadi ancaman serius bagi kesinambungan praktik keagamaan Aswaja di Indonesia yang moderat, toleran, seimbang dan adil itu.

Gempuran kekuatan liberal menghantam sendi-sendi pertahanan nilai yang ditanamkan Aswaja selama berabad-abad dari aspeknya yang sapu bersih dan meniscayakan nilai-nilai kebebasan dalam hal apapun dengan manusia (perangkat nalarnya) sebagai pusat, dengan tanpa perlu bimbingan wahyu. Gempuran Islam politik garis keras menghilangkan watak dasar Islam (Aswaja lebih khusus lagi) yang ramah dan menyebar rahmat bagi seluruh alam semesta.


Referensi


Albani, M. A. (2022, Januari 7). Sejarah Tashwirul Afkar dan Nahdlatul Wathan. Retrieved from nubanyumas: https://nubanyumas.com/sejarah-tashwirul-afkar-dan-nahdlatul-wathan/

Kholili, M. S. (n.d.). KRITIK NALAR ASWAJASEBAGAI MANHAJUL FIKRI DAN MANHAJUL HARAKAH.

Kristeva, N. S. (2012). Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlusannah wal jamaah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kristeva, N. S. (2016). Hand Out Discussion Pesantren Pergerakan Materi Kaderisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Yogyakarta : INSTITUTE FOR PHILOSOPHICAL AND SOCIAL STUDIES (INSPHISOS) JOGJAKARTA .

Kristeva, N. S. (2019). Manifesto Wacana Kiri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nahdlatut Tujjar Sebagai Embrio NU. (2003, Mei 22). Retrieved from nu.or.id: https://www.nu.or.id/warta/nahdlatut-tujjar-sebagai-embrio-nu-9mvC4

Solikhan, K. (2019, Agustus 02). ASWAJA SEBAGAI MANHAJUL FIKR WAL HAROKAH. Retrieved from khansolikhan1994.blogspot.com: https://khansolikhan1994.blogspot.com/2019/08/aswaja-sebagai-manhajul-fikr-wal-harokah.html



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " Aswaja dalam pemaknaan organisasi PMII?"

Posting Komentar